Dungun, satu daerah yang indah yang di kakinya dihiasi hempasan ombak pantai dan di dadanya disirami gerimis. Daerah ini bukti setia cinta sang penyu yang tidak pernah gagal untuk hadir tahun demi tahun. Betapa tiba-tiba aku kembali ke daerah yang banyak memberiku kenangan pahit manis yang senantiasa subur di hati ku. Sebuah daerah yang pernah memberikan aku sebuah cinta. Sebuah cinta yang akhirnya menghadiahkan aku sebuah kelukaan. Sebuah daerah yang aku dan dia mengukir janji-janji manis yang akhirnya aku sendiri gagal menjelmakannya menjadi satu realiti yang aku dan dia impikan.
Daerah ini tidak pernah berubah. Masih juga seperti dulu, di daerah ini hujan yang tetap setia menyambut kehadiranku. Titisannya tanpa segan membasahi diri ku dan hati ku jua. Itulah keramahan daerah ini hingga kini tetap terasa. Aku rindu sekali. Malah aku selalu ingin segera bertemu dengannya. Menyentuhnya. Merasai kesejukan titisan hujan yang tak pernah mengenal musim. Dia akan merangkul ku dalam dakapan basahnya. Kebasahan yang menghangatkan pertemuan yang membuatku sentiasa rindu pada daerah ini. Kerinduan pada sang hujan, pada sesuatu yang tak akan pernah mungkir.
“Rizal, ibu sering bertanyakan tentang hubungan kita. Bila istana yang kita impi akan terbina. Aku ingin sekali hubungan kita diakhiri dengan ikatan pernikahan yang suci….”
Hampir tujuh tahun aku tidak mengunjungi daerah ini, semenjak berakhirnya hubungan cinta ku dengan seseorang. Aku pergi meninggalkan daerah ini. Tujuh tahun, terhitung sejak kami memutuskan tali cinta, yang bagiku akhirnya sia-sia.
“Intan telah berkahwin dengan pilihan keluarganya, Rizal..” tutur kawanku beberapa waktu lalu.
“Bila?”
“Beberapa bulan setelah hubungan kamu putus. Mungkin dia kecewa kerana kau tidak serius dalam hubungan kamu berdua. Kau fahamkan, dia perempuan, tentulah hubungan kamu berdua mahu diakhirinya dengan ikatan perkahwinan. Tapi kau tidak pernah sekalipun menyatakan hasrat mengahwininya…”
“Ah, dia terlalu berprasangka..!”
Entahlah, mungkin dia benar, waktu itu memang aku belum bersedia untuk memikirkan soal pernikahan. Tapi, jujurnya aku memang takut. Sebab aku masih takut, ragu dan bimbang untuk memulakan sebuah kehidupan baru yang dipanggil perkahwinan. Aku takut kehilangan kebebasanku. Hingga kini, usia ku yang melewati usia 30 tahun, ketika aku telah cukup bersedia, malangnya masih belum ku temui gadis sepertinya.
Hari ini, hujan yang turun tiba-tiba membuat aku begitu terasa ingin bertemu dengannya. Ingin sekali bertemu dengan gadis yang pernah selama bertahun-tahun bersemayam dalam hatiku ini. Paling tidak, aku ingin sekadar melihatnya, walau pun sekadar dari kejauhan. Tidak lebih dari itu, dan memang aku tidak punya maksud-maksud untuk mengusut benang cinta kami yang telah lama kusut dan terputus. Yah, aku masih sangat mencintainya hingga detik ini. Mencintainya, kerana dialah cinta ku yang pertama. Sememangnya telah ku bisikan pada hati ku untuk tidak merinduinya lagi, tapi benarkah aku tak lagi merindukannya?
Ku biarkan pertanyaan tentang seseorang itu bermain-main dijiwaku. Merayau-rayau menari-nari menarik kembali cebisan kenangan usang yang telah lama terlipat kejap dilubuk hati ku.
“Ehmmm, tujuh tahun telah berlalu, pasti dia sedang berbahagia kini. Mungkin suaminya tampan, berwibawa, kaya raya dan punyai anak yang ramai, dan...... hahahaha...!!” aku cuma tersenyum sendirian membayangkan sesuatu yang seharusnya melukakan ku.
Ya, dia memang seorang perempuan yang beruntung, dan suaminya pastinya lebih beruntung lagi. Di dunia ini, lelaki itulah yang paling berbahagia, kerana memperoleh seorang isteri yang sebaik dia. Dulu aku ingin sangat memiliki perempuan itu. Dulu juga aku ingin seberuntung suaminya kini. Dulu aku ingin terus memegang erat-erat perempuan itu selamanya dalam dakapan. Tapi takdir itu tidak menyebelahiku.
“..ah!” desahku pendek. Ada setumpuk kesalan menindih-nindih batinku.
Matahari perlahan-lahani muncul dari celahan awan. setelah lama ku nantikan hujan reda. Pun takala reda, sesaat saja akan kembali mencurahkan kebasahannya. Kereta ku terus ku halakan ke suatu arah yang pernah kusinggahi dulu. Cahaya sang matahari sedikit demi sedikit terbentang. Tingkap kereta sedikit ku buka untuk menghirup sisa-sisa aroma tanah basah daerah ini. Sejuk dan dingin.
Sekitar separuh jalan menuju ke rumah perempuan itu, mendadak kulihat pelangi terbentang. Warna-warni itu melengkung, cembung membentuk busur dan kedua ujungnya menjejak di kaki langit dengan jarak renggang yang sukar ku hitung.
“Emmm, indah sungguh ciptaan Illahi,” bisik ku.
Seketika itu, aku teringat saat indah bersamanya, saat ketika berdua ditepian pantai Teluk Bidara, sesudah hujan, melihat pelangi, saat itu dia bercerita tentang pelangi. Fikiranku saat ini tiba-tiba terhanyut menuju masa lampau melalui pelangi.
***
“Tahu tak? Pelangi itu adalah selendang para bidadari, yang digunakan puteri-puteri kayangan yang cantik jelita tiada taranya, sebagai jambatan untuk turun ke bumi..” katanya
“Cantik seperti diri mu?’
Dia hanya tersenyum. Aku pun tersenyum. Sepantas pipi ku dicubit, sambil senyuman terus terukir dibibirnya. Alangkah manisnya senyuman itu.
“Jumlah selendang itu..” lanjutnya lagi, “..ada tujuh dengan warna berbeza. Selendang itu tersusun menjadi jambatan angkasa. Di atas pelangi itu, di atas langit, di situlah letak suatu tempat yang dipenuhi jalan permata, tanah-tanah selembut sutera, rumah-rumah mirip istana, sungai yang mengalirkan susu, telaga madu, tanpa matahari yang menggigit kulit dan tanpa bulan yang menyeramkan dan langit berwana-warni. Itulah yang dipanggil kayangan.”
“Kayangan itu kan dongeng sahaja?” tanyaku tertawa tapi turut terbawa oleh keindahan warna-warni pelangi yang menjelma sebagai selendang menjadi jambatan menuju tempat bernama kayangan yang indah dan penuh kedamaian.
“Kayangan itu…….. syurga,” jawabnya seraya mencubit lengan ku pula dengan geramnya. Aku mengaduh, sememangnya sakit. Sakit-sakit yang menyenangkan, kerana cubitan itu adalah bahasa kasih yang tersendiri.
Hari-hari berikutnya, setiap habis hujan, aku tak lupa menanti pelangi, Menikmatinya sambil teringatkan bicaranya tentang selendang, puteri bidadari dan kayangan. Aku membayangkan sebuah istana, taman dan segala kemeriahan di atasnya. Aku membayangkan aku dan dirinya berdua tinggal menikmati cinta.
“Layakkah kita berdua hidup dikayangan itu?”
“Hanya orang-orang yang hidupnya baik saja yang akan sampai ke sana.”
“Aku ingin ke sana bersama mu..”
“Ya, aku selalu berdoa untuk kita, supaya kelak kita dapat bersama-sama ke sana.”
“Doa itu agaknya semacam jet pejuang yang dapat membawa kita ke kayangan bukan?”tanya ku sambil tertawa.
“Kayangan itu alangkah indahnya.” kata mu lagi
***
Aku tersedar dari diulit kenangan usang kami berdua. Entah mengapa, ketika kini aku diperkenankan kembali untuk melihat pelangi, jambatan ke kayangan kebahagian.
“Jalan menuju kayangan yang penuh keindahan dan kedamaian hati yang abadi.” aku berbisik pada diri ku sendiri.
Bisikan itu terhenti mendadak sewaktu ku lihat beberapa orang melambaikan tangan seolah menghalang ku dari meneruskan perjalanan. Aku memperlahankan kereta ku, memperhatikan jalan sekitarku, apakah daerah ini digenangi air?
“Maaf encik, jalan di hadapan ditutup untuk semua kenderaan. Banjir, semua kenderaan tak dibenarkan lalui.” jelas seorang pegawai polis disitu.” Eloklah encik kembali ke pekan, dalam keadaan begini, jalan ni mungkin akan ditutup agak lama.”
Tiba-tiba keraguan mengepung diriku. Aku mulai ragu, apakah aku masih sanggup meneruskan perjalananku menuju rumah gadisku itu. Agaknya tuhan tidak merestui ku. Dari relung hatiku perlahan-lahan muncul semacam rambu-rambu. “Hanya orang-orang yang hidupnya baik saja yang akan sampai ke kayangan,” kata-katanya yang mendadak terngiang-ngiang kembali ditelinga ku.
Kenangan masa lalu bukan bererti boleh ku pakai untuk menyingkirkan realiti masa kini. Dulu dia adalah kekasihku, tetapi cincin perkahwinan yang melingkari jari manisnya kini milik lelaki lain. Aku tak berupaya. Kami tak punya ikatan apa-apa. Aku harus terus-menerus menyedari itu dan memaksa diri ku menerima kenyataan ini. Aku tidak boleh meresahkan keharmonian keluarga mereka. Tapi.... aku masih sangat mencintainya.
Bunga-bunga kemboja berguguran diterpa angin basah. Aku berhenti sejenak. Keraguan ini telah menghentikan langkahku. Aku memandang sekitarku bagaikan tersedar dari mimpi buruk. Kerinduanku yang telah terkubur, tiba-tiba bangkit, dan hendak menghasut perasaan dan akal sehatku. Masa lalu rupa-rupanya hendak menyeretku dan akan menyesatkanku ke dalam kehidupan yang bukan lagi milikku. Kenapa mesti kesepian dan kerinduan ini menyesatkan ku ke masa lalu?
Sungguh aku kuatir jika pertemuan itu nantinya hanya akan menyayat luka lama bahkan kembali melukai aku dan dia. Aku tidak ingin diriku terjebak dalam rindu usang yang sia-sia. Aku tidak mahu kesia-siaan itu menciptakan pelangi yang sudah bukan lagi milikku.
Tidak. Aku tidak mahu menjajahi kayangan itu. Perempuan itu harus menikmati hidupnya sendiri dengan sepenuh kebahagiaan yang sedang dinikmatinya. Aku tidak berhak untuk merampas kebahagian itu. Mungkin pelangi ada di rumah mereka, ia menjadi menjadi jambatan ke kayangan milik mereka.
Aku undurkan kereta ku ke belakang. Seketika itu juga aku mengurungkan keinginanku bertemunya. “ Ah, biarlah semua yang terjadi tetap seperti adanya di masa lalu.” fikirku.
Sudah cukuplah di masa lalu aku berada pada waktu dan tempat yang keliru. Setelah semua terjadi dulu, aku tidak ingin melintasi jalan menuju tempat itu lagi. Sekarang bukan waktunya untuk mengungkit soal kesalahan. Aku tahu pasti bahwa tidak akan ada kedamaian di sana bila luka masa lampau kubawa serta ke masa kini.
“Hanya orang-orang yang hidupnya baik yang akan ke sana’’ katanya yang masih kuingat. Orang yang hidupnya baik, bukan penuh luka lara masa lampau. Aku tidak tega berada di masa lampau. Aku sedang menuju masa-masa di depanku. Ingin ku buang jauh-jauh luka itu. Sementara kesejukan mendaki tangga-tangga kedinginan, menembus pakaianku dan hati ku.
Sekarang aku tahu, ke mana aku harus melangkah di antara sisa-sisa titik-titik hujan yang mengantarkan langkahku kembali ke dunia nyata
Mentari kian bersinar di antara gumpalan awan. Cahaya tipisnya menembusi cermin tingkap kereta ku dan mengusap-usap pipi kasarku. Hangatnya sehangat jemari gadis ku dulunya selalu membelai pipiku sambil bercerita tentang pelangi, “di atas pelangi itu, di atas langit, di situlah letak suatu tempat yang bernama kayangan.”
Ya, tapi pelangi itu bukan lagi untuk ku.
Daerah ini tidak pernah berubah. Masih juga seperti dulu, di daerah ini hujan yang tetap setia menyambut kehadiranku. Titisannya tanpa segan membasahi diri ku dan hati ku jua. Itulah keramahan daerah ini hingga kini tetap terasa. Aku rindu sekali. Malah aku selalu ingin segera bertemu dengannya. Menyentuhnya. Merasai kesejukan titisan hujan yang tak pernah mengenal musim. Dia akan merangkul ku dalam dakapan basahnya. Kebasahan yang menghangatkan pertemuan yang membuatku sentiasa rindu pada daerah ini. Kerinduan pada sang hujan, pada sesuatu yang tak akan pernah mungkir.
“Rizal, ibu sering bertanyakan tentang hubungan kita. Bila istana yang kita impi akan terbina. Aku ingin sekali hubungan kita diakhiri dengan ikatan pernikahan yang suci….”
Hampir tujuh tahun aku tidak mengunjungi daerah ini, semenjak berakhirnya hubungan cinta ku dengan seseorang. Aku pergi meninggalkan daerah ini. Tujuh tahun, terhitung sejak kami memutuskan tali cinta, yang bagiku akhirnya sia-sia.
“Intan telah berkahwin dengan pilihan keluarganya, Rizal..” tutur kawanku beberapa waktu lalu.
“Bila?”
“Beberapa bulan setelah hubungan kamu putus. Mungkin dia kecewa kerana kau tidak serius dalam hubungan kamu berdua. Kau fahamkan, dia perempuan, tentulah hubungan kamu berdua mahu diakhirinya dengan ikatan perkahwinan. Tapi kau tidak pernah sekalipun menyatakan hasrat mengahwininya…”
“Ah, dia terlalu berprasangka..!”
Entahlah, mungkin dia benar, waktu itu memang aku belum bersedia untuk memikirkan soal pernikahan. Tapi, jujurnya aku memang takut. Sebab aku masih takut, ragu dan bimbang untuk memulakan sebuah kehidupan baru yang dipanggil perkahwinan. Aku takut kehilangan kebebasanku. Hingga kini, usia ku yang melewati usia 30 tahun, ketika aku telah cukup bersedia, malangnya masih belum ku temui gadis sepertinya.
Hari ini, hujan yang turun tiba-tiba membuat aku begitu terasa ingin bertemu dengannya. Ingin sekali bertemu dengan gadis yang pernah selama bertahun-tahun bersemayam dalam hatiku ini. Paling tidak, aku ingin sekadar melihatnya, walau pun sekadar dari kejauhan. Tidak lebih dari itu, dan memang aku tidak punya maksud-maksud untuk mengusut benang cinta kami yang telah lama kusut dan terputus. Yah, aku masih sangat mencintainya hingga detik ini. Mencintainya, kerana dialah cinta ku yang pertama. Sememangnya telah ku bisikan pada hati ku untuk tidak merinduinya lagi, tapi benarkah aku tak lagi merindukannya?
Ku biarkan pertanyaan tentang seseorang itu bermain-main dijiwaku. Merayau-rayau menari-nari menarik kembali cebisan kenangan usang yang telah lama terlipat kejap dilubuk hati ku.
“Ehmmm, tujuh tahun telah berlalu, pasti dia sedang berbahagia kini. Mungkin suaminya tampan, berwibawa, kaya raya dan punyai anak yang ramai, dan...... hahahaha...!!” aku cuma tersenyum sendirian membayangkan sesuatu yang seharusnya melukakan ku.
Ya, dia memang seorang perempuan yang beruntung, dan suaminya pastinya lebih beruntung lagi. Di dunia ini, lelaki itulah yang paling berbahagia, kerana memperoleh seorang isteri yang sebaik dia. Dulu aku ingin sangat memiliki perempuan itu. Dulu juga aku ingin seberuntung suaminya kini. Dulu aku ingin terus memegang erat-erat perempuan itu selamanya dalam dakapan. Tapi takdir itu tidak menyebelahiku.
“..ah!” desahku pendek. Ada setumpuk kesalan menindih-nindih batinku.
Matahari perlahan-lahani muncul dari celahan awan. setelah lama ku nantikan hujan reda. Pun takala reda, sesaat saja akan kembali mencurahkan kebasahannya. Kereta ku terus ku halakan ke suatu arah yang pernah kusinggahi dulu. Cahaya sang matahari sedikit demi sedikit terbentang. Tingkap kereta sedikit ku buka untuk menghirup sisa-sisa aroma tanah basah daerah ini. Sejuk dan dingin.
Sekitar separuh jalan menuju ke rumah perempuan itu, mendadak kulihat pelangi terbentang. Warna-warni itu melengkung, cembung membentuk busur dan kedua ujungnya menjejak di kaki langit dengan jarak renggang yang sukar ku hitung.
“Emmm, indah sungguh ciptaan Illahi,” bisik ku.
Seketika itu, aku teringat saat indah bersamanya, saat ketika berdua ditepian pantai Teluk Bidara, sesudah hujan, melihat pelangi, saat itu dia bercerita tentang pelangi. Fikiranku saat ini tiba-tiba terhanyut menuju masa lampau melalui pelangi.
***
“Tahu tak? Pelangi itu adalah selendang para bidadari, yang digunakan puteri-puteri kayangan yang cantik jelita tiada taranya, sebagai jambatan untuk turun ke bumi..” katanya
“Cantik seperti diri mu?’
Dia hanya tersenyum. Aku pun tersenyum. Sepantas pipi ku dicubit, sambil senyuman terus terukir dibibirnya. Alangkah manisnya senyuman itu.
“Jumlah selendang itu..” lanjutnya lagi, “..ada tujuh dengan warna berbeza. Selendang itu tersusun menjadi jambatan angkasa. Di atas pelangi itu, di atas langit, di situlah letak suatu tempat yang dipenuhi jalan permata, tanah-tanah selembut sutera, rumah-rumah mirip istana, sungai yang mengalirkan susu, telaga madu, tanpa matahari yang menggigit kulit dan tanpa bulan yang menyeramkan dan langit berwana-warni. Itulah yang dipanggil kayangan.”
“Kayangan itu kan dongeng sahaja?” tanyaku tertawa tapi turut terbawa oleh keindahan warna-warni pelangi yang menjelma sebagai selendang menjadi jambatan menuju tempat bernama kayangan yang indah dan penuh kedamaian.
“Kayangan itu…….. syurga,” jawabnya seraya mencubit lengan ku pula dengan geramnya. Aku mengaduh, sememangnya sakit. Sakit-sakit yang menyenangkan, kerana cubitan itu adalah bahasa kasih yang tersendiri.
Hari-hari berikutnya, setiap habis hujan, aku tak lupa menanti pelangi, Menikmatinya sambil teringatkan bicaranya tentang selendang, puteri bidadari dan kayangan. Aku membayangkan sebuah istana, taman dan segala kemeriahan di atasnya. Aku membayangkan aku dan dirinya berdua tinggal menikmati cinta.
“Layakkah kita berdua hidup dikayangan itu?”
“Hanya orang-orang yang hidupnya baik saja yang akan sampai ke sana.”
“Aku ingin ke sana bersama mu..”
“Ya, aku selalu berdoa untuk kita, supaya kelak kita dapat bersama-sama ke sana.”
“Doa itu agaknya semacam jet pejuang yang dapat membawa kita ke kayangan bukan?”tanya ku sambil tertawa.
“Kayangan itu alangkah indahnya.” kata mu lagi
***
Aku tersedar dari diulit kenangan usang kami berdua. Entah mengapa, ketika kini aku diperkenankan kembali untuk melihat pelangi, jambatan ke kayangan kebahagian.
“Jalan menuju kayangan yang penuh keindahan dan kedamaian hati yang abadi.” aku berbisik pada diri ku sendiri.
Bisikan itu terhenti mendadak sewaktu ku lihat beberapa orang melambaikan tangan seolah menghalang ku dari meneruskan perjalanan. Aku memperlahankan kereta ku, memperhatikan jalan sekitarku, apakah daerah ini digenangi air?
“Maaf encik, jalan di hadapan ditutup untuk semua kenderaan. Banjir, semua kenderaan tak dibenarkan lalui.” jelas seorang pegawai polis disitu.” Eloklah encik kembali ke pekan, dalam keadaan begini, jalan ni mungkin akan ditutup agak lama.”
Tiba-tiba keraguan mengepung diriku. Aku mulai ragu, apakah aku masih sanggup meneruskan perjalananku menuju rumah gadisku itu. Agaknya tuhan tidak merestui ku. Dari relung hatiku perlahan-lahan muncul semacam rambu-rambu. “Hanya orang-orang yang hidupnya baik saja yang akan sampai ke kayangan,” kata-katanya yang mendadak terngiang-ngiang kembali ditelinga ku.
Kenangan masa lalu bukan bererti boleh ku pakai untuk menyingkirkan realiti masa kini. Dulu dia adalah kekasihku, tetapi cincin perkahwinan yang melingkari jari manisnya kini milik lelaki lain. Aku tak berupaya. Kami tak punya ikatan apa-apa. Aku harus terus-menerus menyedari itu dan memaksa diri ku menerima kenyataan ini. Aku tidak boleh meresahkan keharmonian keluarga mereka. Tapi.... aku masih sangat mencintainya.
Bunga-bunga kemboja berguguran diterpa angin basah. Aku berhenti sejenak. Keraguan ini telah menghentikan langkahku. Aku memandang sekitarku bagaikan tersedar dari mimpi buruk. Kerinduanku yang telah terkubur, tiba-tiba bangkit, dan hendak menghasut perasaan dan akal sehatku. Masa lalu rupa-rupanya hendak menyeretku dan akan menyesatkanku ke dalam kehidupan yang bukan lagi milikku. Kenapa mesti kesepian dan kerinduan ini menyesatkan ku ke masa lalu?
Sungguh aku kuatir jika pertemuan itu nantinya hanya akan menyayat luka lama bahkan kembali melukai aku dan dia. Aku tidak ingin diriku terjebak dalam rindu usang yang sia-sia. Aku tidak mahu kesia-siaan itu menciptakan pelangi yang sudah bukan lagi milikku.
Tidak. Aku tidak mahu menjajahi kayangan itu. Perempuan itu harus menikmati hidupnya sendiri dengan sepenuh kebahagiaan yang sedang dinikmatinya. Aku tidak berhak untuk merampas kebahagian itu. Mungkin pelangi ada di rumah mereka, ia menjadi menjadi jambatan ke kayangan milik mereka.
Aku undurkan kereta ku ke belakang. Seketika itu juga aku mengurungkan keinginanku bertemunya. “ Ah, biarlah semua yang terjadi tetap seperti adanya di masa lalu.” fikirku.
Sudah cukuplah di masa lalu aku berada pada waktu dan tempat yang keliru. Setelah semua terjadi dulu, aku tidak ingin melintasi jalan menuju tempat itu lagi. Sekarang bukan waktunya untuk mengungkit soal kesalahan. Aku tahu pasti bahwa tidak akan ada kedamaian di sana bila luka masa lampau kubawa serta ke masa kini.
“Hanya orang-orang yang hidupnya baik yang akan ke sana’’ katanya yang masih kuingat. Orang yang hidupnya baik, bukan penuh luka lara masa lampau. Aku tidak tega berada di masa lampau. Aku sedang menuju masa-masa di depanku. Ingin ku buang jauh-jauh luka itu. Sementara kesejukan mendaki tangga-tangga kedinginan, menembus pakaianku dan hati ku.
Sekarang aku tahu, ke mana aku harus melangkah di antara sisa-sisa titik-titik hujan yang mengantarkan langkahku kembali ke dunia nyata
Mentari kian bersinar di antara gumpalan awan. Cahaya tipisnya menembusi cermin tingkap kereta ku dan mengusap-usap pipi kasarku. Hangatnya sehangat jemari gadis ku dulunya selalu membelai pipiku sambil bercerita tentang pelangi, “di atas pelangi itu, di atas langit, di situlah letak suatu tempat yang bernama kayangan.”
Ya, tapi pelangi itu bukan lagi untuk ku.
No comments:
Post a Comment